Skip to main content

Globalisasi Versus Globalisasi : Upaya Pemertahanan Adat Istiadat dengan Solusi Cerdas Era Global

     Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang sangat heterogen atau beragam. Indonesia juga dikenal sebagai negeri yang gemah ripah loh jinawi yang berarti kekayaan alam yang berlimpah. Bukan hanya alamnya, tetapi juga budayanya. Mulai dari suku, agama, ras, etnik, dan banyak unsur sosial lainnya. Dahulu, nenek moyang kita berdamai dengan perbedaan. Banyak peninggalan Hindu, tetapi mayoritasnya muslim. Seiring berjalannya waktu, selaras dengan seleksi alam, keturunan-keturunan nenek moyang ini makin beragam. Akan tetapi tidak makin berdamai. Mungkinkah kita mewujudkan toto tentrem karto raharjo? Sebuah ungkapan Bahasa Jawa yang menggambarkan pertiwi masa silam. 

Menurut Koen Cakraningrat, adat merupakan suatu bentuk perwujudan kebudayaan yang digambarkan sebagai tata kelakuan. Adat juga merupakan norma atau aturan tidak tertulis namun keberadaannya sangat kuat dan mengikat. Siapapun yang melanggarnya akan dikenai sanksi yang cukup berat.

Pada tahun 2018, menurut data GPI atau Global Peace Index  yang dihasilkan oleh Institut Ekonomi dan Perdamaian (IEP), secara global Indonesia berada pada urutan ke 55 dari 163 negara dengan perolehan skor 1,853 yang membuat Indonesia masuk kategori negara dengan tingkat perdamaian tinggi. Selain itu, dalam studi lanjutan terhadap keanekaragaman data suku SP2010, yang mana keanekaragaman diukur dengan Ethnic Fractionalize Index (EFI) dan Ethnic Polarized Index (EPOI) diperoleh EFI sebesar 0,81 dan EPOI sebesar 0,50. Tergambar bahwa Indonesia sangat heterogen/majemuk, namun tidak terpolar sehingga potensi dampak konflik cenderung rendah. Bangga memang, melihat Indonesia dipandang dunia sebagai negeri yang pluralis dan menjunjung tinggi toleransi. Akan tetapi, melihat keadaan sekarang, apakah rakyat Indonesia masih mengenal jati diri mereka yang sesungguhnya, yaitu masyarakat yang menjunjung tinggi adat istiadat?

Dewasa ini adat istiadat bukanlah fokus utama yang dipikirkan sebagian masyarakat Indonesia. Mereka cenderung membiarkan adat istiadat yang sudah ada berjalan dengan sendirinya tanpa ada pelestarian. Mereka lebih terfokus dengan pembangunan dan modernisasi, yaitu menciptakan Indonesia sukses dalam revolusi industri 4.0. Dari segi Pemerintah pun begitu, pembangunan masif sudah terimplementasi beberapa tahun silam, sedangkan anggaran kebudayaan baru terpisah dari dana pendidikan tahun 2019 ini. Sesuai dengan pernyataan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy saat acara diskusi 4 Tahun Kerja Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla di Kementerian Sekertariat Negara, Jakarta Pusat, Rabu (24/10/2018). Ini membuktikan bahwa kebudayaan atau kearifan lokal belum menjadi fokus utama Pemerintah yang menyebabkan adat istiadat dan keragaman budaya yang menghiasi Indonesia perlahan hilang dari jati diri bangsa Indonesia. 

Lunturnya adat istiadat kebanyakan disebabkan oleh adaptasi terhadap perkembangan zaman yang membentuk budaya baru. Faktor utama perkembangan zaman adalah globalisasi. Globalisasi merupakan integrasi dunia dalam segala aspek karena kemajuan infrastruktur telekomunikasi dan transportasi. Hal ini membuat generasi kita sekarang lebih condong ke budaya barat. Sudah seharusnya kita mulai memutar otak dalam menghadapi arus globalisasi ini. Salah satu cara mengatasi tantangan globalisasi adalah memanfaatkan globalisasi itu sendiri. Dengan cara ini lunturnya adat istiadat bisa teratasi, salah satunya dengan terbuka terhadap teknologi dan memanfaatkannya sebagai media penyebarluasan adat istiadat yang dimiliki Indonesia. 

            Salah satu cara efektif dalam mendalami adat istiadat adat, yaitu dengan menilik sejarah. Yogyakarta menjadi kota yang tepat dalam hal ini. Yogyakarta penuh dengan sejarah bangsa Indonesia yang unik dan istimewa. Istimewa karena ikut andil dalam sejarah Indonesia pra-kemerdekaan. Istimewa dari segi bentuk pemerintahan, di mana bentuk pemerintahannya merupakan gabungan dari dua wilayah, yaitu wilayah Kasultanan &  Pakualaman, menjadi satu daerah provinsi yang berbentuk kerajaan dalam  NKRI serta istimewa dalam hal kepala pemerintahan di mana dijabat oleh sultan dan adipati. 

            Berawal dari keinginan masyarakat Yogyakarta yang tidak mau meninggalkan budaya dan tradisi adat istiadat mereka, membuat Sultan Hamengkubowono IX mengeluarkan Amanat 5 September 1945 yang salah satunya berisi penyatuan Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat yang bersifat kerajaan adalah daerah istimewa dari negara Republik Indonesia. Mulai dari situ, Keraton berkembang menjadi kerajaan yang sekaligus cagar budaya dan ikon Daerah Istimewa Yogyakarta. 

            Seiring berjalannya waktu, Keraton menghadapi masalah baru dengan arsip sejarahnya, seperti foto dan buku catatan yang tidak tersimpan di perpustakaan Keraton, Widya Budaya. Selain itu, arus kerja Keraton masih sangat bertumpu pada kertas yang terasa kurang efisien. Oleh sebab itu, Sultan HB X merasa perlu dibuatnya divisi IT yang membawa Keraton menuju era computer-based. Lalu, lahirlah divisi IT tersebut yang bernama Tepas Tandha Yekti (TTY) yang bertanggung jawab atas IT dan dokumentasi. TTY dikepalai oleh GKR Hayu yang merupakan putri ke-4 Sultan Hamengkubuwono X. 

            Tujuan TTY sendiri adalah mendigitalisasi dokumen-dokumen Keraton dan menjadikan teknologi sebagai basis penyebaran informasi. Seperti ketika adanya acara-acara budaya yang diselenggarakan Keraton, divisi TTY menyebarluaskan berita tersebut ke netizen lewat media sosial. Ketika acara tersebut diselenggarakan, divisi TTY yang mendokumentasikan jalannya acara lewat foto, video, dan live streaming di media sosial. Saat ini, TTY sedang bekerja sama dengan beberapa Kawedanan (divisi) lain untuk meneliti existing workflow dan berinovasi untuk memasukan existing workflow tersebut ke sebuah aplikasi. 

            Inovasi Keraton tersebut merupakan sebuah gebrakan yang mematahkan pendapat skeptis masyarakat tentang akulturasi budaya dengan digitalisasi teknologi. Digitalisasi ini bisa menjadi tantangan tersendiri, namun apabila disikapi dengan baik maka akan membawa manfaat yang sangat besar. Sudah sepantasnya kita para generasi centennial yang hidup dengan teknologi memanfaatkan era globalisasi ini untuk melestarikan budaya dan adat istiadat Nusantara. 

            Selain paparan di atas, salah satu permasalahan kita adalah kurangnya budayawan yang terekspos oleh media. Jika ada, pasti sangat jarang karena media lebih menampilkan hal-hal yang bersifat market-oriented. Pembangunan yang berorientasi infrastruktur makro membuat Pemerintah lupa akan hal-hal mikro seperti, pengembangan budaya. Banyak budayawan yang mengkritik hal ini  seperti sastrawan Radhar Panca Dahana di Galeri Nasional, Selasa, 23 Agustus 2016 yang berpendapat bahwa infrastruktur kebudayaan sekarang ini sangat tidak diperhatikan. Ia juga berpendapat tentang pusat dokumentasi sastra HB Jassin, yang koleksinya tidak terawat, bahkan berakhir mengenaskan. Radhar juga memberikan satu contoh lain seperti di Taman Ismail Marzuki yang terkesan salah orientasi, lebih menampilkan budaya luar dibanding budaya lokal sendiri.

            Selain dari segi tersebut, terkadang kesejahteraan para budayawan juga kurang diperhatikan. Seperti almarhum Drs. Suyadi (tokoh Pak Raden dalam serial “Si Unyil”) yang di akhir hayatnya mengalami keterbatasan ekonomi. Padahal, para budayawan berperan menjadikan Indonesia tetap beragam dengan mempertahankan adat istiadatnya, membuat generasinya mencintai budayanya, serta membuat ibu pertiwi kembali berbahagia. Mengingat peran budayawan sangat penting untuk membentuk karakter bangsa serta menjaga sejarah budaya, Pemerintah perlu memerhatikan kesejahteraan para budayawan. 

            Dari seluruh paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa di era global yang penuh dengan digitalisasi dan modernisasi diperlukan solusi yang cerdas, efisien, dan relateable dalam mempertahankan adat istiadat atau budaya lokal Indonesia. Di satu sisi, globalisasi bisa menggerus adat istiadat yang tumbuh dan berkembang di Indonesia. Akan tetapi, di sisi lain salah satu solusi cerdas dalam mempertahankan adat istiadat adalah dengan memanfaatkan pengaruh globalisasi itu sendiri, yaitu pemanfaatan teknologi digital dalam penyebarluasan adat istiadat serta sarana pendukung dalam berbudaya. Dalam hal ini, Pemerintah memiliki andil besar dalam memelopori pembangunan infrastruktur kebudayaan dan mempertahankan keragaman Indonesia dari ancaman apapun serta lebih memerhatikan para budayawannya. Sebagai masyarakat yang peduli terhadap budaya dan adat istiadat, kita sudah seharusnya mendukung dan membantu penyebarluasan adat istiadat Indonesia sehingga tetap lestari dan abadi di bumi pertiwi serta tidak diakuisisi oleh negara mana pun. 

Comments

Popular posts from this blog

Bocah Lusuh Hilang Arah

Goresan Pena : Abiyu Safabakas Pemuka Celana kecoklatan, muka merah padam Telanjang kaki berpijak pada nasib muram Yang seharusnya dididik agar berpendidikan Tapi malah menjadi buangan ditengah teriknya awan  Dia pelakunya, dia pencurinya, dia yang menentukan nasibku Dia yang merenggut apapun dariku Dia yang berjingkrak kesenangan diatas deritaku Dia yang saat ini mengibas uang hasil korupsi dariku Ketika generasi kami tak lagi terdidik Nasib bangsa ini tak lagi baik Ketika anak menjadi pemulung lumrah kena terik Diterpa hujan sedikit bangsa hancur tercekik

Sosial Berarti Bersama

Sebuah tugas kelas online kala itu Goresan Pena : Abiyu Safabakas Pemuka Memahami pandemi Corona yang menjadi isu sosial  Masyarakat berbondong-bondong membaca berita Entah akhirnya bersiap diri atau memilih tidak percaya Ada pula yang menganggap remeh, nyawa kehendak tuhan tanpa berupaya menjaga Itulah gunanya pengetahuan sebagai lentera Memahami isu yang menjadi masalah masyarakat Isu kesehatan yang juga isu sosial Pentinglah mengerti sosial untuk menyelesaikannya Dalam bidang akademik, semua jenjang kalut  Semua tatap muka raib ditelan bumi, dinding-dinding kelas klasikal    tak berpenghuni membisu Untunglah zaman telah berkembang, menjadikan internet sebagai media menuntut ilmu  Tak perlu terpaku dengan kurikulum, kita belajar hal baru, belajar mengenal untuk melawan Corona virus Pentinglah ilmu yang mengedepankan kesesuaian kondisi Ilmu seperti sosial yang tak melulu soal geografi & ekonomi murni Namun juga bisa diimplementasikan pada hal