Indonesia merupakan negara pluralis yang terdiri dari berbagai macam suku, agama, dan budaya. Agama menjadi salah satu poin utama dalam keberagaman di Indonesia. Indonesia di mata dunia terkenal toleran terhadap perbedaan agama. Apakah anggapan tersebut masih relevan dengan realita?
Toleransi menurut Dewan Ensiklopedi Indonesia merupakan suatu sikap membiarkan orang untuk mempunyai suatu keyakinan yang berbeda. Indonesia sebagai negara yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi pun telah diakui dunia. Beberapa waktu lalu, Indonesia menyabet juara 2 dalam ajang Pekan Kerukunan Antarumat Beragama Dunia atau World Interfaith Harmony Week (WIHW) dengan juara pertama diraih Australia dan juara ke-3 diraih oleh Inggris. Terkadang prestasi tersebut memang layak disandang bangsa Indonesia, tapi apakah di tahun politik ini masyarakat Indonesia masih menjunjung tinggi esensi toleransi? Seperti kita ketahui, saat ini konflik sengit perebutan tahta kepresidenan sarat akan hal-hal berunsur SARA, khususnya agama.
Indonesia masa kini, ibarat melihat dari dua sisi. Di satu sisi, menjadi tanah yang damai dan tenteram bagi seluruh warganya. Di sisi lain, menjadi sasaran empuk perkembangbiakan bakteri ‘hoaks’ dan penyakit ‘caci maki’, tempat strategis dimana media massa bisa memutar balikan fakta semudah membuka telapak tangan. Sebuah peristiwa ketika diberitakan di media berbeda, maka sudut pandang pemberitaannya sudah berbeda. Objektivitas sebuah peristiwa seakan di bawah kendali media, bukan lagi faktual berdasar realita.
Isu-isu yang diembuskan melalui berita ‘hoaks’ dan informasi yang diberitakan oleh media secara tidak berimbang seakan menjadi cermin realita di dalam masyarakat Indonesia. Apa yang disampaikan melalui isu-isu tersebut, memprovokasi masyarakat akan kebenarannya, meskipun sejatinya tidaklah demikian.
Logika kami berpendapat, Indonesia masih sarat akan nilai-nilai toleransi. Bayangkan saja, apabila masyarakat Indonesia tidak toleran, mengapa peninggalan kuno yang bukan berasal dari agama mayoritas tetap terjagai dengan baik? Mengapa pendiri bangsa lebih memilih mengganti sila pertama pada Pancasila? Realita tersebut menunjukkan bahwa bangsa Indonesia masih sangat menghargai perbedaan, hanya saja fakta keberagaman tersebut dikeruhkan dan diputarbalikkan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab, ditambah lagi dengan adanya Pilpres di tahun 2019 mendatang.
Kemudahan akses media sosial menjadi faktor permasalahan utama. Semua orang bisa dengan mudah mengeluarkan pendapat. Apabila rakyat Indonesia tidak bijak dalam memilah dan memilih informasi, maka ia hanya akan terdoktrin dengan kata-kata provokatif dan ujaran kebencian tersebut.
Soekarno pernah berujar “Hendaklah negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya bertuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada ‘egoisme agama’.” Kata-kata tersebut disampaikan pada pidato lahirnya pancasila. Maksud dari kata-kata tersebut pasti ingin menjadikan Indonesia negara yang damai dan agamis tapi tetap toleran serta nasionalis.
Menjadi generasi yang pancasilais, memiliki pengetahuan yang luas, toleran, dan bijak dalam memilah dan memilih informasi akan menjadikan Indonesia negara yang kuat. Jangan sampai hanya karena masalah SARA yang berasal dari ‘ketikkan jemari’, Indonesia menjadi tempat dimana genosida merajalela. Semua agama entah itu Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Buddha, maupun Konghucu pasti mengajarkan toleransi agar terciptanya perdamaian di seluruh negeri. Oleh karena itu, tugas kita sebagai penerus tonggak kebhinekaan bangsa harus menjunjung tinggi toleransi. Jangan sampai tragedi masa lalu yang kelam terulang kembali di bumi pertiwi karena perbedaan kepercayaan. Jangan sampai Indonesia menjadi lemah dan mudah dikuasai bangsa lain dengan politik devide et impera.
Comments
Post a Comment